Diam Dalam Keheningan

Waktu menunjukan pukul setengah tujuh malam, saatnya makan malam. Semua anggota keluarga berkumpul di ruang makan dan mereka bersiap-siap mengambil makanan yang ingin makan. Di meja berkumpullah sang ayah, ibu, kakak, dan adik.

Mereka mengambil makanan seperti biasa lalu menyantapnya dengan perlahan supaya tidak tersedak, meski mereka berkumpul bersama namun mereka hanya diam satu sama lain dan tidak ada satupun yang mau memulai percakapan.

Aneh tapi nyata, mereka memang berkumpul dalam satu ruangan tetapi pikiran mereka ada di ruangan yang mereka buat sendiri layaknya ruangan kosong tanpa ada apapaun. Mereka takut untuk memulai karena mereka tidak siap menerima respon yang diberikan.

Seperti sang ayah yang memikirkan nasib pekerjaannya karena di kantornya terjadi PHK besar-besaran sehingga membuat dia pusing tujuh keliling memikirkan langkah apa yang bisa diambil. Ia tidak yakin dengan uang yang sudah  ditabung selama ini cukup menghidupi keluarganya apabila terkena PHK.

Ia juga tidak ingin menceritakan beban pikiran kepada sang istri tentang masalah ini karena ia sadar istrinya juga sudah terlalu pusing dan lelah mengurusi pekerjaan rumah, sedangkan saat dia di rumah dia melihat anak-anaknya tidak membantu sama sekali. Kenapa anak-anakanya tidak membantu ibunya? Hal tersebut membuatnya bingung karena pekerjaannya yang cukup sibuk yang membuat ia tidak tahu persis keadaan rumah seperti apa.

Selain itu, sang ibu ingin sekali membicarakan tentang kekesalan terhadap anak-anaknya kenapa tidak mau membantu bahkan dipanggil saja jarangan direspon. Ia sadar selama pandemi ini mereka sekolah secara daring seharian penuh yang membuat tugas sekolah menjadi lebih banyak dari biasanya, sehingga harus menghabiskan waktunya di kamar untuk menyelsaikan tugasnya.

Rasa tak enak menyelimuti pikiran sang ibu, mau minta tolong takut dicuekin tapi kalau dikerjakan sendiri rasanya benar-benar melelahkan di umur yang sudah tidak muda lagi. Lantas harus kepada siapa dia memohon bantuan? Apakah harus menunggu keajaiaban yang turun dari langit?

Semua itu lagi-lagi hanya mereka simpan dalam pikiran mereka hingga makanan di piring hampir tak bersisa, suasana tetap saja hening tanpa sepatah katapun. Jika sang ibu dan ayah memiliki beban tersendiri, bagaimana dengan anak-anaknya? Apa yang sebenarnya mereka rasakan? Apa kira-kira yang bisa dilakukan untuk memecahkan keheningan ini?

Hanya waktu yang bisa menjawab...

4 komentar

  1. Slice of life ya kak. Realitanya hidup berkeluarga memang tidak menjadikan permasalahan satu sama lain menjadi permasalahan bersama. Namun bukan berarti tidak ada cinta di dalamnya, perasaa cinta itu justru berbentuk "tidak ingin memberatkan orang yang dicinta dengan permasalahan satu sama lain", akan menjadi sebuah anugerah jika ada seorang yang memulai lebih dahulu untuk kemudian membuka pintu-pintu terkunci itu untuk kemudian menghadapinya bersama.
    tanpa ada berinisiatif lebih dahulu maka setiapnya hanya akan berdo'a berharap situasi segera membaik dan kehidupan kembali menjadi hangat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku ga kepikiran buat temanya kak, terlintas di pikiran aja itu hehe.
      Btw keren banget kata-katanya kak, terharu aku bacanya.

      Hapus
  2. Setiap keluarga punya ceritanya mssing-masing. Setiap anggota kdluadga punya pikiran bahkan bebannya masing-masing. Memang, ada baiknya masalah di luar enggak dibawa ke dalam rumah, yang kalau enggak bisa mengontrol emosi bisa bikin rumah jadi'berantakan', tetapi menurutku, keluarga yang baik adalah yang saling memikul pundak anggota keluarga lain. Semoga keheninggan cepat terpecahkan dengan tawa, yaa.

    BalasHapus