Sebuah Undangan

Waktu pukul empat pagi, aku bersiap-siap mandi untuk salat Subuh di masjid. Hari kemarin benar-benar melelahkan karena harus menempuh jarak sejauh empat puluh kilometer untuk ke kampus hanya untuk menyelesaikan urusan administrasi nilai, Untungnya selesai dalam waktu sehari sehingga aku bisa santai di rumah dan menikmati mandi di pagi ini dengan santai. 

Selesai mandi aku langsung berpakaian dan langsung berangkat ke masjid dengan berjalan kaki, ya kurang lebih sampai dalam waktu lima menit. Seperti biasa udara pagi di hari memang dingin sekali, memakai baju lengan pendek bukanlah pilihan yang tepat untuk orang yang tidak kuat dingin sepertiku. 

Sampai di masjid lalu menyelesaikan salat berjamaah aku langsung pulang karena ngantuk sekali dan rasanya ingin mandi lagi agar tidak ngantuk. Namun saat hendak pulang, ada yang memanggilku

"Andi ke sini sebentar!", suara bapak itu memanggil.

Suaranya terasa sangat familiar yang membuat aku hampir tidak mengenali suara ini karena memang sudah lama tidak bertemu jika saja aku tidak menoleh ke arah sumber suara. Ternyata itu adalah suara Pak Ivan, rekan kerja ayahku yang sekarang sudah pensiun.

"Ah iya Pak Ivan toh, sudah lama tak bertemu Pak."

"Iya juga ya, dulu kamu sekecil semut sekarang sudah sebesar harimau," kami berdua pun tertawa.

Akhirnya kami pun pulang bersama jalan kaki karena jalan pulangnya kebetulan searah dan mengobrol tentang keadaan masing-masing saat ini karena sudah lama tidak bertemu selama dua tahun karena pandemi yang melanda bumi ini.

Karena rumah Pa Ivan lebih dekat jaraknya, beliau pun pamit izin masuk ke rumah tetapi menahanku untuk menunggu.

"Tunggu sebentar Ndi, om ada undangan buat ayahmu"

"Undangan apa om?"

"Ini anak Om, si Nadia temen sekolah mu dulu itu minggu ini mau menikah."

Akupun terdiam dan kaget, bagaimana tidak saat aku satu SD dengannya dia orangnya sangat pemalu dan tidak memiliki teman sama sekali. Terakhir bertemu saat dua tahun lalu juga dia masih begitu. Aku hanya terheran saja kok bisa. 

Setelah menerima undangan aku pun pamit pulang, di jalan akupun merenung sudah umur segini jangankan calon, teman perempuan saja tidak ada. Ditambah sudah banyak teman-teman dari SD sampai kuliah sudah menikah sedangkan aku belum. Sedih rasanya..

Urusan jodoh memang di tangan Tuhan, tetapi kita sebagai manusia haruslah berusaha mencari dan memperbaiki diri. Ya memang sih sebelum menerima undangan itu aku cuek sekali soal beginian karena menurutku yang ada malah mengganggu kerjaanku saja. 

Setelah merenung aku memutuskan untuk tidak memikirkan terlalu keras dan mencoba melupakan, karena buat apa juga begitu, kalau aku pikirkan sekarang memangnya jodohku akan datang di depan mata? Tidak kan? 

Maka dari itu aku hanya santai saja saat tiba di rumah dan melanjutkan aktifitas sedia kala. 

6 komentar

  1. Betul kak.. Mencoba melupakan hii

    BalasHapus
  2. Setiap orang punya timelinenya masing-masing. Ada yang cepat menikah. Ada yang cepat dapat kerja. Ada lama menikah. ada yang lama dapat kerja. Ada yang wafat di usia muda. Ada yang panjang umur. Dan di setiap orang pasti punya cobaannya masing-masing. Belum tentu yang cepat menikah bahagia. Belum tentu yang belum menikah tidak bahagia. Karena katanya, bahagia itu pilihan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahagia itu pilihan ketika kita siap menerimanya

      Hapus
  3. Jalan hidup manusia tidak ada yang sama, seperti sepatu, setiap orang punya selera dan ukuran kaki yang berbeda pun rutenya, artinya, jangan pernah samakan jalan orang lain dengan jalan kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, tapi kadang orang-orang tidak berfikir demikian sayangnya.

      Hapus