Hidup Sebagai Kucing (Bagian 2)

Sekarang adalah hari Sabtu di mana hari orang-orang bersantai dari penatnya kehidupan. Biasanya mereka menghabiskan waktu untuk beristirahat karena buat apa liburan pasti kemana-mana akan macet. Setidaknya dengan begitu aku senang bisa menghabiskan hari libur bersama aku si kucing yang menggemaskan ini. Sayangnya, itu semua tidak sesuai yang diharapkan, ternyata mereka sekeluarga hendak pergi tapi ku tak tahu hendak kemana.

Aku kesana kemari mulai menghampiri Ayah, Ibu, Anin, dan Beni. Bukannya perhatian yang kudapat, tetapi mereka begitu cuek kepadaku. Tak tahu kenapa mereka terlihat buru-buru mempersiapkan segala hal mulai dari baju, makanan, sampai amplop. Kenapa amplop ya? Apa mereka mau kirim surat? Kalau iya, kok sampe seniat ini persiapannya? Ah, andai aku bisa bahasa manusia pasti akan kutanyakan satu-satu deh mereka. 

Meski begitu, perhatianku terpaku pada Anin, raut wajahnya sedih dan matanya terlihat sembab seperti habis menangis. Sepertinya dia ada masalah serius, karena yang kutahu dia itu ceria dan murah senyum meskipun dilanda kesulitan seberat apapun, tetapi aku tidak tahu apa yang menimpanya sehingga menjadi seperti saat ini.

Setelah semua persiapan sudah selesai Ayah, Ibu, dan Beni pergi menggunakan mobil, meninggalkan Anin seorang yang masih terlihat sedih. Kalau tak salah ekspresi Ayah dan Ibu juga seperti tidak senang ketika hendak pergi, apa mereka bertengkar ya? Tapi kok tidak ada yang terluka? Pengalamanku ketika menjadi petarung kucing ketika berantem pasti ada saja yang terluka. Kok ini tidak ada bekas luka ya? Paling tidak ada darah gitu. Tanpa menunggu waktu lama Anin langsung lari ke kamarnya. Aku bingung harus apa, lebih baik aku tidur lagi. Zzzzzzzz...

Suara azan berkumandang membangunkanku, hari sudah siang yang berarti saatnya untuk makan siang. Ada yang aneh, biasanya saat makan siang pasti ada yang menemaniku? Tapi kok aku sendiri? Oh iyaa orang rumah kan sedang pergi. Tiba-tiba aku kepikiran Anin yang belum turun hingga sekarang, sedikit khawatir aku memutuskan ke atas untuk melihatnya. Sempat was-was karena takut pintu kamarnya ditutup ternyata masih terbuka sedikit memberi celah untuk menyusup masuk.

Anin tertidur pulas di meja belajar yang terlihat berantakan. Tidak biasa aku melihat ia membiarkan kamarnya seperti kapal pecah, benar-benar berantakan. Sepertinya ia memiliki masalah yang cukup berat sampai-sampai tak mampu menghadapinya. Akhirnya aku lompat ke pangkuan dirinya yang sedang tertidur, ku jadikan ia alas tidurku. Mungkin jika ada aku disisinya bisa membuat keadaaan lebih baik, karena memang aku ini lucu jadi dengan siapapun suasan akan menjadi tenang.

Baru saja memenjamkan mata sebentar aku kaget mendengar suara teriakan. Reflek aku langsung lompat dan lari kocar-kacir untuk sembunyi di bawah kasur. Ku intip keluar ternyata Anin baru bangun, mungkin dia kaget melihatku tiba-tiba ada di pangkuannya. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk keluar dan mencoba menghampirinya. Anin melihatku dengan wajah tersenyum sambil menahan air mata, aku jadi sedih dan ingin ikutan menangis. Mulutnya bergerak mengatakan sesuatu, tetapi aku tidak paham apa yang dia bicarakan. Kebingungan akupun memberi isyarat menggaruk kepala sebagai tanda aku tidak paham. Anehnya dia malah tertawa melihatku.

Anin mungkin sadar aku tak paham dengan apa yang ia bicarakan, hingga ia mengambil sesuatu dan menunjukkannya padaku. Aku melihat dengan seksama, kedua benda yang ia tunjukan adalah suatu kertas yang dibungkus dengan plastik. Pikirku dua hal itu adalah sesuatu yang berharga untuknya tetapi ia tak bisa memilih. Bisa jadi karena itu Anin menangis dan berantem dengan kedua orang tuanya, masuk akal sih karena Ayah juga Ibu ingin Anin datang bersama mereka tetapi tidak bisa. Lagi-lagi Anin tertawa, mungkin gemas melihatku yang lagi-lagi kebingungan dengan apa yang ia tunjukkan. Tertawa cukup lama Anin pun bergegas ganti pakaian dan membawaku keluar untuk jalan-jalan. Ya, mungkin pikiran dia sudah tenang jadi ingin mencari angin segar keluar.

Aku berharap mereka bisa akur nantinya, sungguh melihat seperti buatku kebingungan. Bukan bingung mencari cara untuk membuat mereka berdamai, tetapi bingung mencari siapa yang bisa kuajak main ketika aku bosan.

Posting Komentar