Huru-Hara Masjid

Waktu menunjukkan pukul enam sore, malam hampir tiba yang ditandai dengan terbenamnya matahari di ufuk Barat. Suara azan berkumandang di sekitar rumahku yang terdengar dari segala arah, sepertinya banyak masjid di sini. Maghrib sudah tiba saatnya aku berangkat untuk salat. Tak lupa aku berganti pakaian agar terlihat lebih rapi, maklum aku baru pulang kuliah jadi kalau langsung ke masjid bisa-bisa aku dikira gembel. 

Masjid terlihat sangat ramai sekali, di sana banyak anak-anak sampai kakek-kakek. Wajar, jam segini biasanya orang-orang sudah pulang dari aktifitas mereka masing-masing. Tak heran sih, karena masjid hanya terlihat ramai ketika waktu shalat Maghrib dan shalat Jumat, sayang sekali ya.

Tanpa menunggu waktu lama, aku langsung mengambil wudhu agar tidak antri. Ya, kebiasaan warga sini baru wudhu saat mendekati waktu iqamah. Jadi, dari pada telat shalat jamaah karena antri wudhu lebih baik aku wudhu dari sekarang. Segarnya habis wudhu, rasanya ingin langsung mandi deh hihihihhi. 

Waktu iqamah masih lama lebih baik aku duduk saja lah di dalam masjid, tidak ada yang bisa aku lakukan saat ini. Sesampainya di dalam masjid ternyata lebih ramai dari biasanya dan mayoritas adalah anak-anak. Salut sih sama anak-anak zaman sekarang dari kecil sudah rajin ke masjid, semoga saja kedepannya menjadi anak yang sholeh dan berbakti kepada orang tua.

Aku senang melihat banyak anak-anak datang ke masjid karena mau belajar, tetapi satu hal yang tidak kusuka dari anak kecil, yaitu berisiknya. Ampuun, kalau bercanda tuh suaranya suka keras sekali sampai-sampai serasa ada di pasar yang suaranya datang dari arah mana saja. Okelah kalau belum waktunya sholat mereka berisik aku memakluminya karena memang anak-anak sedang aktif-aktifnya sehingga terlihat banyak tingkah.

Masalahnya ketika shalat mereka masih saja berisik dan bercanda tiada henti dan itu benar-benar mengganggu. Padahal jarakku dengan mereka berjarak 5 baris, tetapi suara bercandaan mereka terdengar sampai barisanku bahkan barisan terdepan sekalipun. Jujur aku jadi susah khusyuk shalatnya karena benar-benar berisik. Sementara itu, bapak-bapak di sana tidak terganggu sama sekali, aku heran kok bisa ya tidak terganggu, apakah imanku kurang sehingga kena gangguan begini saja langsung goyah?

Melihat mereka aku hanya bisa mengelus dada entah bagaimana nantinya ketika shalat di mulai, semoga saja aku kuat dan konsentrasiku tidak buyar apabila jika mereka benar-benar berisik. 

"Kenapa dek? Sedih amat? Diputusin pacar kah?", seorang lelaki paruh baya tiba-tiba bertanya yang membuatku kaget.

"Ah, saya jomblo dari lahir pak gimana mau punya pacar."

"Terus kenapa?"

"Itu Pak Emen lihat banyak anak-anak saat ini, lebih banyak dari biasanya. Saya takut nanti mereka berisik saat shalat nanti."

"Xixixixixi itu tadi ada pengajian makanya ramai, Biasalah anak-anak kan datang ke pengajian nyari besek."

"Oh gitu, pantas saja.", aku mengangguk.

Lelaki itu bernama Pak Emen, beliau bisa dibilang adalah sessepuh di masjid sini. Bukan ustad maupun bukan kyai, tetapi belaiu begitu dihormati, kalau tak salah ingat beliaulah yang mendanai renovasi masjid ini menjadi megah seperti masjid-masjid yang ada di ibu kota. Beliau sangat ramah pada siapapun, tak salah jika banyak yang menghormatinya.

"Tenang dek, Pak Emen sudah ada solusi biar mereka tetap diam saat ini dan kedepannya saat shalat". lanjut Pak Emen sambil tersenyum usil.

Aku kaget melihat Pak Emen memasang ekspresi seperti itu, jarang-jarang beliau seperti ini. Biasanya kalau sudah tersenyum usil apa yang beliau lakukan akan selalu berhasil tak peduli seberapa sulit masalah itu.

Iqamah sudah tiba dan jamaah masjid sudah bersiap-siap berdiri di shaf yang sudah disediakan. Buru-buru aku mengambil shaf terdepan agar suara bercanda anak-anak tidak begitu mengangguku. Sayangnya, anak-anak itu masih saja bercanda meskipun sudah berbaris.

Tiba-tiba terdengar suara cambuk yang begitu keras ke lantai hingga membuat seisi masjid terdiam termasuk anak-anak yang bercanda. Kutengok ke belakang, ternyata itu Pak Emen sambil memegang sapu lidi yang lumayan tebal. Pantas saja suaranya sebesar itu.

"WOI ANAK-ANAK KALAU SHALAT DIEM, BERCANDA MULU KERJAANNYA. GANGGU ORANG TAU! KALAU MASIH BERISIK SIAP-SIAP NIH SAPU LIDI MENDARAT KE PUNGGUNG KALIAN", Tegur Pak Emen dengan ekspresi seramnya.

Seketika anak-anak terdiam dan ketakutan melihat Pak Emen seseram itu. Tak sedikit juga anak-anak langsung kabur pulang ke rumah masing-masing, bahkan ada juga yang menangis karena ditinggal teman-temannya. Yang lucunya lagi aku melihat ada yang ketakutan sampai-sampai mengompol, aduh aku tertawa melihatnya dan kasihan juga tak ada yang membantu. Untungnya ada yang mau membantu anak tersebut dengan mengantarkannya pulang ke rumah. Akhirnya shalat dimulai dengan keadaan yang lebih tenang.

Seminggu sejak kejadian itu masjid terlihat lebih kondusif, meski awalnya anak-anak sedikit yang datang karena masih takut dengan Pak Emen, lama-lama menjadi banyak yang datang. Mereka terlihat lebih kalem dan terkesan jaga image supaya tidak selalu bercanda, mereka masih takut sepertinya dengan Pak Emen.

"Pak Emen berhasil tuh akting bapak", bisikku

"Xixixii berhasil juga, gak sia-sia nonton sinetron bapak. Cocok kan jadi peran antagonis?"

"Cocok Pak! Jadi penjahat seram sepertinya juga cocok. Atau jadi hantu di wahana rumah hantu saja Pak, dijamin gak ada yang berani"

Kami berdua tertawa terpingkal-pingkal. Ya, semoga saja ini menjadi pelajaran untuk anak-anak itu.

1 komentar

  1. Ini polemik, sih. Kita seharusnya bersyukur, mesjid masih diramaikan oleh anak-anak. Kelak, mereka lah yang akan mengisi mesjid ketika para tetua telah berpulang. Namun, di sisi lain, ributnya mereka mengganggu khusyuknya kita beribadah. Maka lebih baik perlu ada sinergitas antara kita sebagai jamaah mesjid dan orangtua si anak. Anak-anak yang ribut ketika sholat di mesjid adalah anak yang datang dengan teman-temannya, bukan dengan orangtuanya, sehingga kurang pengawasan

    BalasHapus