Sebuah Perjalanan Menulis (Bagian 2)

Setelah kemarin sudah membahas soal pengalamanku menulis fiksi, saat ini aku ingin menceritakan  pengalamanku dalam menulis non fiksi pada tantangan one day one post. Apa bedanya fiksi dengan non fiksi? Umumnya non fiksi adalah tulisan informatif yang berdasarkan fakta atau kenyataan.

Banyak bentuk dari tulisan non fiksi mulai dari esai, berita, hingga opini. Non fiksi menurutku tak kalah menarik dengan fiksi, karena non fiksi berisi fakta sehingga untuk membuktikan kebenarannya bisa dengan mencari informasi tentang hal tersebut.

Dengan tulisan yang berisi informasi dan fakta, tulisan non fiksi tetap berguna dalam jangka waktu yang panjang. Kok bisa? Yaa karena non fiksi adalah tulisan yang isinya sudah dikaji dan jika ada yang baru maka tulisan lama pun bisa menjadi rujukan. Berbeda dengan fiksi di mana sebagian besar hasil karyanya hanya menjadi satu kesatuan tanpa bisa digunakan sebagai rujukan untuk karya baru.

Selama menulis non fiksi aku merasa lebih nyaman karena bisa menuangkan isi pikiran dan isi hati. Banyak kejadian sekitar yang benar-benar membuatku merasa kesal sehingga untuk bisa meredamnya aku tuang melalu tulisan. Setidaknya dengan begitu aku bisa lega dan bisa mendapatkan pendapat dari para pembaca.

Membaca komentarpun juga sangat bermanfaat lho, karena bisa saja banyak yang memiliki masalah sama tetapi cara penyelesaiannya berbeda. Dengan begitu wawasan kita pun bertambah dan juga siapa tahu ada yang mengkoreksi apabila ada yang salah dengan tulisan kita.

Menulis non fiksi juga bisa menjadi wadah berbagi ilmu untuk para pembaca karena ilmu di dunia ini sangat banyak dan sayang banget kalau kita ada ilmu tapi tidak dibagikan. Denggan berbagi ilmu melalui tulisan akan mudah diingat oleh orang-orang misalnya “Eh si ini kan yang suka nulis soal matematika di blognya itu kan? Tulisannya membantu aku banget mahamin materi”.

Ada beberapa hal yang menyulitkanku dalam menulis tulisan nonfiksi yaitu mencari data pendukung dan membuat “nilai jual” lebih dari topik yang jarang diminati pembaca. Pertama adalah data pendukung, karena non fiksi mengutamakan fakta sehingga harus mencari data yang bisa memperkuat isi Tulisa.

Sebenarnya untuk mencari data atau informasi data pendukungg itu gampang dan mudah ditemukan, namun yang jadi masalah adalah memilah mana yang dibutuhkan atau tidak. Dalam waktu satu hari rasanya agak sulit buatku.

Lalu ada membuat “nilai jual” tulisan lebih menarik, kebanyakan tulisan non fiksiku itu mengambil tema yang jarang diminati orang bahkan beberapa rekan menganggap terlalu biasa. Maka dari itu aku harus bisa men-deliver tulisan agar bisa diterima semua orang. Tak lupa juga memilih diksi yang mudah dipahami.

Dari semua penjelasan di atas aku bisa bilang bahwa aku lebih senang menulis non fiksi karena lebih asyik, namun sayangnya butuh usaha lebih agar tulisanku terlihat kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan.

 

 

1 komentar

  1. Menarik nih pembahasannya. Baik fiksi maupun non fiksi punya plus minusnya sendiri sih, yaa. Fiksi kita bisa bebas berimajinasi dan membuatnya menjadi cerita yang dapat menghibur, tetapi bagaimana caranya membuat fiksi ini penuh amanat bagi pembacanya juga jadi salah satu tanggung jawab besar bagi si penulis. Kalau non fiksi ini, memakan waktu banyak karena kayak yang kamu jelasin kita harus nyari sumber data yang terpercaya karena akan disajikan kepada pembaca. Apa pun tulisannya sih, baik fiksi maupun non fiksi, tetap harus punya nilai jual dalam segi human interest maupun amanat karena akna memberi dampak bagi pola pikir ai pembaca. Xixi.

    BalasHapus